DAKWAH

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Peningkatan pembangunan nasional di Indonesia banyak aspek yang harus diperhatikan, di antaranya adalah aspek keislaman yakni dakwah. Sebagai warga negara, kita menyadari akan pentingnya dakwah islamiyah dalam kehidupan sehari-hari, karena suatu negara akan maju dan kokoh apabila masyarakatnya berilmu pengetahuan, beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia.
Melihat realitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dewasa ini, tampak adanya gejala-gejala penyimpangan akhlak yang meningkat seperti terjadinya kenakalan anak dalam bentuk perkelahian, mabuk-mabukan, merokok, mencuri dan lain sebagainya. Hal ini terjadi karena kurang pembinaan agama. Seharusnya sudah menjadi tugas dan tanggung jawab semua pihak untuk berupaya menanamkan nilai-nilai agama kepada masyarakat dan menuntut mereka untuk mengamalkan sehingga terbentuk akhlak masyarakat yang baik.
Perkembangan akhlak masyarakat banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Lingkungan ini terdiri dari orang tua, saudara, teman, guru dan sebagainya. Tanpa masyarakat atau lingkungan, kepribadian seseorang itu tidak akan berkembangan dengan baik. Seseorang banyak belajar dari lingkungannya mengenai bagaimana ia harus bertingkah laku yang baik.
Dakwah sangatlah dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa adanya pendakwah akan sulit menyebarluaskan ajaran yang di bawa oleh Rasulullah SAW. Maka dibutuhkanlah para pendakwah yang mempunyai ilmu untuk mengamalkan ilmunya di tengah masyarakat sebagai penyambung lidah Rasulullah SAW. Sedangkan tugas Rasulullah SAW sudah jelas untuk memperbaiki akhlak manusia. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Saba’ ayat 28 sebagai berikut[1] :
وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا كَآفَّةٗ لِّلنَّاسِ بَشِيرٗا وَنَذِيرٗا وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٢٨
Artinya : “ Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.
Melihat ayat ini maka jelaslah selain dari pada dakwah yang sangat penting, maka tentunya pula harus ada objek dakwah yang menjadi sasaran dakwah. Objek dakwah ini bisa di sebut Mad’u. Objek dakwah ini tertuju kepada masyarakat mulai dari diri sendiri, keluarga, kelompok, baik yang menganut islam ataupun tidak, dengan kata lain adalah seluruh manusia.
Dakwah tidak ada artinya apabila tidak ada manusia. Posisi manusia begitu sentral dalam aktifitas kedakwahan baik sebagai pelaku maupun sebagai objek dakwah. Meskipun sangat sulit bagi da’i memahami manusia dengan berbagai keunikannya, tetapi bukan berarti seorang da’i mengabaikan dan menjauhkan diri dari pemahaman terhadap konsep manusia. Justru keefektifan dan kesuksesan dakwah banyak ditentukan oleh kemampuan da’i dalam mengenal diri dan objek dakwahnya. Oleh karena itu, pemahaman terhadap konsep manusia menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar –tawar bagi umat islam atau mereka-mereka yang terjun dalam aktifitas dakwah.[2]
Kelangsungan dakwah tidak akan berjalan baik tanpa adanya objek dakwah (Mad’u). Keberadaan objek dakwah (Mad’u) ini sangat berpengaruh dalam mengatasi akhlak di lingkungan masyarakat. Keikutsertaan objek dakwah (Mad’u) untuk mengikuti pengajian akan membawa pengaruh positif terhadap lingkungan masyarakat.
Disisi lain, pendakwah  (Da’i) juga harus memiliki kompetensi ataupun kemampuan untuk menunjang wawasan para objek dakwah (Mad’u) untuk memperbaiki dirinya menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Sehingga motivasi para objek dakwah (Mad’u) untuk mengikuti pengajian sangat tinggi dan tidak timbul kejenuhan.
Objek dakwah (mad’u) kajiannya merupakan hal yang tak kalah penting dari pada kajian mengenai da’i. Seperti da’I,  mad’u adalah manusia. Kajian mengenai mad’u tak cukup hanya pada klasifikasi, penggolongan atau pengelompokan seperti yang selama ini terjadi. Dalam konteks filsafat dakwah, kajian mengenai mad’u perlu dilihat dalam kedudukannya sebagai manusia baik sebagai individu maupun kelompok, lalu kecendrungan-kecendrungannya baik yang bersifat intelektual, moral (emosional) maupun spiritual.
Pemahaman jati diri mad’u sebagai manusia dan kecendrungan-kecendrungan dasarnya menjadi sangat penting dalam konteks dakwahuntuk selanjutnya dapat dirumuskan pendekatan dan metode yang tepat dan relevan. Tentu metode, teknik dakwah, menjadi tugas ilmu dakwahdan bukan menjadi wilayah kajian filsafat dakwah untuk merumuskannya dan mengujinya secara empiris dilapangan. Disadari keberadaan mad’u mempengaruhi aspek-aspek lain dalam proses dakwah.
Secara harfiah, arti jenuh ialah “…padat atau penuh sehingga tidak mampu lagi memuat apapun, selain itu juga berarti jemu atau bosan”. Kejenuhan adalah “…suatu kondisi mental seseoranng saat mengalami rasa bosan dan lelah yang amat sehingga mengakibatkan timbulnya rasa enggan, lesu, tidak bersemangat atau tidak bergairah untuk melakukan aktivitas belajar”.


B.     Pembahasan
1.      Pengertian Da’i dan Dakwah
Menurut Ahmad Suyuti Da’i atau مبالغ adalah berasal dari bahasa Arab  " بلغ– يبلغ"yang berarti orang yang menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat penerima dakwah.[3]
Dakwah merupakan kewajiban yang disyariatkan dan menjadi mas’uliyah  (tanggung jawab) yang harus di pikul oleh kaum muslimin seluruhnya. Dengan artian bahwa setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan, ulama atau bukan, yang berstatus kyai maupun santri di tuntut dan diwajibkan untuk berdakwah, sesuai dengan kondisi, kemampuan, dan ilmu yang dimilikinya. Tidak seorangpun yang menyandang predikat sebagai muslim yang bebas tugas dari menyampaikan dakwah ini, walaupun hanya satu ayat.[4]
Memang secara general, setiap muslim pada dasarnya adalah da’i. Bertugas menyampaikan seruan islam kepada siapa saja yang dapat ia lakukan. Namun secara proesional, tentulah diperlukan tenaga-tenaga yang mempunyai kualifikasi tertentu. Kualifikasi tersebut dimunculkan dalam bentuk pemahaman yang memadai tenytang pengetahuan agama yang standr dalam masyarakat Islam.[5]
Kata da’i adalah bentuk fa’il dari lafal da’a yang berarti orang yang berdakwah. Berhasil atau tidaknya dakwah islam, sangat bergantung pada pribadi sang pembawa dakwah (da’i) itu sendiri. Oleh sebab itu, seorang da’i yang berkepribadian menarik, sedikit banyak akan mendukung keberhasilan dakwah yang disampaikannnya.[6]
Sebagai pribadi yang memikul tugas dakwah, para da’i berfungsi sebagai central of change  dalam suatu tatanan masyarakat. Selain menyampaikan pesan, para da’i mempunya tugas untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi umat. Maklumlah, karena masalah itu berkembang dengan cepat, berbarengan dengan cepatnya pergeseran zaman. Selain itu, da’i juga mengemban misi pemberdayaan (empowering) seluruh potensi yang ada dalam masyarakat.[7]
Menurut Muriah dalam bukunya yang berjudul Metodologi Dakwah Kontemporer bahwa Da’i dibagi menjadi dua kriteria yaitu umum dan khusus. Secara umum adalah setiap muslim dan muslimat yang berdakwah sebagai kewajiban yang melekat tidak terpisahkan dari misinya dari sebagai penganut Islam sesuai dengan perintah "بلغو عنىولوآية". Sedangkan secara khusus adalah mereka yang mengambil keahlian khusus dalam bidang dakwah Islam dengan kesungguhan dan qodrah khasanah.[8]
Pengertian dakwah menurut bahasa, dakwah berasal dari bahasa Arab yakni دعا– يدعوا – دعوة (da’a - yad’u - da'watan). Kata dakwah tersebut merupakan islam masdar dari kata da’a yang dalam Ensiklopedia Islam diartikan sebagai “ajakan kepada Islam. Kata da’a dalam al-Quran, terulang sebanyak 5 kali, sedangkan kata yad’u terulang sebanyak 8 kali dan kata dakwah terulang sebanyak 4 kali.[9]
Kata da’a pertama kali dipakai dalam al-Quran dengan arti mengadu (meminta pertolongan kepada Allah) yang pelakunya adalah Nabi Nuh as. Lalu kata ini berarti memohon pertolongann kepada Tuhan yang pelakunya adalah manusia (dalam arti umum). Setelah itu, kata da’a berarti menyeru kepada Allah yang pelakunya adalah kaum Muslimin.
Kemudian kata yad’u, pertama kali dipakai dalam al-Quran dengan arti mengajak ke neraka yang pelakunya adalah syaitan. Lalu kata itu berarti mengajak ke surga yang pelakunya adalah Allah, bahkan dalam ayat lain ditemukan bahwa kata yad’u dipakai bersama untuk mengajak ke neraka yang pelakunya orang-orang musyrik.
Sedangkan kata dakwah atau da’watan sendiri, pertama kali digunakan dalam al-Quran dengan arti seruan yang dilakukan oleh para Rasul Allah itu tidak berkenan kepada obyeknya. Namun kemudian kata itu berarti panggilan yang juga disertai bentuk fi’il (da’akum) dan kali ini panggilan akan terwujud karena Tuhan yang memanggil. Lalu kata itu berarti permohonan yang digunakan dalam bentuk doa kepada Tuhan dan Dia menjanjikan akan mengabulkannya.
Jika di tilik dari segi bahasa (etimologi), maka dakwah dapat berarti memanggil, mengundang, mengajak, menyeru, mendorong ataupun memohon. Dalam ilmu tata bahasa Arab, kata dakwah merupakan mashdar dari kata kerja da’aa, yad’uu, da’watan, yang berarti memanggil, menyeru, atau mengajak.[10]
Dalam Al-qur’an, kata dakwah dapat kita jumpai pada beberapa tempat, dengan berbagai macam bentuk dan redaksinya. Dalam beberapa hadis Rasulullah SAW pun, sering kita jumpai istilah-istilah yang senada dengan pengertian dakwah.[11]
Adapun beberapa ayat dan hadis Nabi yang sejalan dengan pengertian dakwah adalah sebagai berikut :[12]
1.      Do’a dan permohonan
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِي وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُونَ ١٨٦
Artinya : Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al-Baqarah : 186)

2.      Seruan
وَمَنۡ أَحۡسَنُ قَوۡلٗا مِّمَّن دَعَآ إِلَى ٱللَّهِ وَعَمِلَ صَٰلِحٗا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ ٣٣
Artinya : Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri? (QS. Fushilat : 33)

وَٱللَّهُ يَدۡعُوٓاْ إِلَىٰ دَارِ ٱلسَّلَٰمِ وَيَهۡدِي مَن يَشَآءُ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ ٢٥
Artinya : Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). (QS. Yunus : 25)

يَوۡمَئِذٖ يَتَّبِعُونَ ٱلدَّاعِيَ لَا عِوَجَ لَهُۥۖ وَخَشَعَتِ ٱلۡأَصۡوَاتُ لِلرَّحۡمَٰنِ فَلَا تَسۡمَعُ إِلَّا هَمۡسٗا ١٠٨
Artinya : Pada hari itu manusia mengikuti (menuju kepada suara) penyeru dengan tidak berbelok-belok; dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja (QS.Thaha : 108)
لِّكُلِّ أُمَّةٖ جَعَلۡنَا مَنسَكًا هُمۡ نَاسِكُوهُۖ فَلَا يُنَٰزِعُنَّكَ فِي ٱلۡأَمۡرِۚ وَٱدۡعُ إِلَىٰ رَبِّكَۖ إِنَّكَ لَعَلَىٰ هُدٗى مُّسۡتَقِيمٖ ٦٧
Artinya : Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari´at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari´at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus. (QS. Al-Hajj : 67)

3.      Panggilan untuk nama
وَنَزَعَ يَدَهُۥ فَإِذَا هِيَ بَيۡضَآءُ لِلنَّٰظِرِينَ ١٠٨
Artinya : ia mengeluarkan tangannya, maka ketika itu juga tangan itu menjadi putih bercahaya (kelihatan) oleh orang-orang yang melihatnya. (QS. Al-A’raf :180)

4.      Undangan
Didin Hafidhuddin menyatakan pengertian dakwah, yakni; pesan yang datang dari luar, sehingga langkah pendekatan lebih diwarnai dengan interventif. Ceramah dalam arti sempit, sehingga orientasi dakwah sering pada hal-hal yang bersifat rohani saja. Menyampaikan dan hasil akhirnya terserah kepada Allah, akan menafikan perencanaan, pelaksanan dan evaluasi dari kegiatan dakwah.
Dakwah dalam pengertian syara’ (istilah), telah dikemukakan oleh beberapa pakar keilmuan, diantaranya :[13]
a.       Syaikh Muhammad Ash-shawwaf mengatakan, dakwah adalah risalah langit yang diturunkan ke bumi, berupa hidayah sang khaliq kepada makhluk, yakni din dan jalan Nya yang lurus yang sengaja di pilih-Nya dan dijadikan sebagai jalan satu-satunya untuk bisa selamat kembali kepada-Nya. Hal ini mengingatkan kita pada firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat Ali Imran Ayat 19 yakni sebagai berikut :
إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَٰمُۗ وَمَا ٱخۡتَلَفَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ إِلَّا مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلۡعِلۡمُ بَغۡيَۢا بَيۡنَهُمۡۗ وَمَن يَكۡفُرۡ بِ‍َٔايَٰتِ ٱللَّهِ فَإِنَّ ٱللَّهَ سَرِيعُ ٱلۡحِسَابِ ١٩
Artinya : Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.

b.      Dr. Yusuf Al-Qaradhawi menyimpulkan bahwa dakwah adalah ajakan kepada agama Allah, mengikuti petunjukNya, mencari keputusan hukum (tahkim) kepada metodeNya di bumi, mengesakanNya dalam beribadah, meminta pertolongan dan ketaatan, melepaskan diri dari Thaghut yang ditaati selain Allah, membenarkan apa yang dibenarkan Allah, memandang bathil apa yang dipandang bathil oleh Allah, amar ma’ruf nahi munkar  dan jihad dijalan Allah. Secara ringkan, ia adalah ajakan murni paripurna kepada Islam, tidak tercemar dan tidak pula terbagi.
c.       Syaikh Ali  Machfudz dalam kitabnya Hidaayatul Mursyidiin memberi batasan sebagai berikut : “Membangkitkan kesadaran manusia kepada kebaikan dan petunjuk, menyuruh berbuat makrufdan mencegah dari yang mungkarsupaya mereka memperoleh keberuntungan kebahagiaan dunia dan akhirat”.
d.      Dr. Muhammad Sayyid Al-Wakil mendefenisikan dakwah adalah mengajak dan mengumpulkan manusia untuk kebaikan serta membimbing mereka kepada petunjuk dengan cara ber-amar makruf nahi mungkar.
e.       Dr. Taufiq Al-Wa’i menjelaskan dakwah adalah mengumpulkan manusia dalam kebaikan, menunjuk mereka ke jalan yang benar dengan cara merealisasikan manhaj Allah di bumi dalam ucapan dan amalan, menyeru kepada yang makruf dan mencegahh dari yang mungkar, membimbing mereka kepada shiraathal mustaqiim dan bersabar menghadapi ujian yang menghadang diperjalanan.
f.       Dakwah menurut H.M arifin, M.Ed, mengandung pengertian sebagai suatu ajakan baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkahlaku, dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana dalam usaha mempengaruhi orang lain, baik secara individual maupun secara kelompok, agar timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap, penghayatan, serta pengamalan terhadap ajaran agama sebagai message yang disampaikan kepadanya dengan tanpa adanya unsur-unsur paksaan.
g.      Menurut Drs. H.M. Masyhur Amin,  dakwah adalah suatu aktifitas yang mendorong manusia memeluk agama Islam melalu cara yang bijaksana, dengan materi ajaran Islam, agar mereka mendapatkan kesejahteraan kini (dunia) dan kebahagian nanti ( akhirat).
h.      Jamaluddin Kaffie berpendapat dakwah adalah suatu sistem kegiatan dari seseorang, kelompok, segolongan umat Islam sebagai aktualisasi Imaniah  yang di manifestasikan dalam bentuk seruan , ajakan, panggilan, undangan, dan doa, yang disampaikan dengan ikhlas dan menggunakian metode, sistem, dan tekhnik tertentu, agar mampu menyentuh qalbu dan fitrah seseorang, keluarga, kelompok, massa, dan masyarakat manusia supaya dapat mempengaruhi tingkah lakunya untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
i.        Sementara itu Prof. Dr. M. Quraish Shihab mengatakan dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsyafan atau usaha mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna baik terhadap pribadi maupun masyarakat.
Beberapa defenisi dakwah tersebut kesemuanya bertemu pada satu titik. Yakni dakwah merupakan sebuah upaya dan kegiatan baik dalam wujud ucapan maupun perbuatan yang mengandung ajakan dan seruan kepada orang lain untuk mengetahui, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat sehingga selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah..
Dengan demikian, dakwah bukanlah terbatas pada penjelasan dan penyampaian semata, namun juga menyentuh  aspek pembinaan dan takwin (pembentukan) pribadi, keluarga, dan masyarakat Islam.
2.      Mad’u ( Objek Dakwah )
a.       Pengertian Mad’u
Mad’u yaitu mamnusia yang menjadi saasaran dakwah, atau manusia penerima dakwah, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok, baik manusia yang beragama islam maupun tidak, atau dengan kata lain, manusia secara keseluruhan. Kepada manusia yang belum beragama islam, dakwah bertujuan untuk mengajak mereka untuk mengikuti agama islam, sedangkan kepada orang-orang yang telah beragama islam dakwah bertujuan meningkatkan kwalitas iman, islam, dan ihsan.[14]
Menurut Abdul Munir Mulkhan,bahwa objek da’wah (mad’u) ada dua sasaran,yaitu umat da’wah dan umat ijabah. Umat da’wah adalah masyarakat yang non muslim sedangkan umat ijabah adalah mereka yang sudah menganut Agama islam.Kepada manusia yang belum beragama islam,da’wah bertujuan untuk mengajak mereka untuk mengikuti agama islam.Sedangkan bagi mereka yang telah beragama islam,da’wah bertujuan meningkatkan kualitas keimanan.[15]
b.      Mad’u Sebagai Sentral Da’wah
Objek da’wah (mad’u) adalah merupakan sasaran da’wah.yang tertuju pada masyarakat luas, mulai dari diri sendiri, keluarga, kelompok, baik yang menganut islam maupun tidak. salah satu sasaran utama yang hendak dicapai melalui da’wah adalah pemberdayaan masyarakat menuju suatu komunitas atau masyarakat yang khaira ummah, the best ummah. Bukan hanya dari aspek-aspek keimanan dan ibadah semata, melainkan dari aspek-aspek sosial seperti pendidikan. untuk memosisikan mad’u sebagai sentral da’wah,perlu memperhatikan tiga hal :
1)      Da’wah harus memperhatikan kapasitas pemikiran (tingkat intelektual) suatu masyarakat.
Tingkat pemahaman suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lainnya pasti berbeda.Perbedaan pemahaman ditentukan banyak variabel,diantaranya tingkat kemajuan budaya dan peradaban masyarakat yang bersangkutan.masyarakat yang masih sederhana dan bersahaja memiliki kecenderungan memahami dengan mudah dan apa adanya.Sedangkan masyarakat yang memiliki intelektual lebih tinggi cenderung memahami agama secara lebih kompleks.
2)       Da’wah harus memperhatikan kondisi kejiwaan (psikologis) mad’u.
Dipandang dari sudut suasana kejiwaannya,setiap masyarakat memiliki suasana kejiwaan masing-masing,maka da’wah yang manusiawi dan sekaligus komunikatif adalah da’wah yang dapat memahami perbedaan psikologis setiap masyarakat dan mencarikan jalan keluar yang tepat dan sesuai dengan suasana kebatinan mereka.maka dalam pemilihan dan penyesuaian materi da’wah menjadi hal yang penting yang harus diperhatikan.
3)      Da’wah harus memperhatikan problematika kekinian yang harus dihadapi oleh suatu masyarakat.
Risalah islam diturunkan dengan kepentingan merespon masalah-masalah umat manusia dan membantu mencarikan jalan keluar dengan mengarahkan manusia melalui bimbingan agar lebih berpihak pada nilai-nilai moral dan ketuhanan.[16] Dalam pelaksanaannya da’wah harus bersifat komunikatif dan interaktif. Komunikatif berarti bahwa da’wah harus memahami dan merespons setiap problematika umat.Sedangkan interaktif berarti dakwah harus mampu berdialog dengan berbagai pihak dan kelompok dalam rangka mencari solusi dan memecahkan masalah yang dihadapi oleh umat.Dengan demikian da’wah dituntut untuk selalu inovatif dan kreatif dalam menajawab tantangan zaman dan perubahan sosial.


c.        Hak-Hak Mad’u
Islam itu condong kepada prinsip humanism. Jika logika ini ditarik lebih jauh kemudian dikaitkan dengan hak mad’u,maka ia adalah tidak laib dari hak-hak manusia..persoalan ini dapat ditinjau dari dua aspek,yaitu hak hubungan social antar pribadi (interpersonal relationship right),dan hak hubungan antar keterkaitan komunikasi (communication interconnecting right).Hak manusia dalam tujuan pertama,menekankan kecakapan kualitas pribadi seseorang dalam membangun pola hubungan antar personal yang nyaman (comfortable), dan penuh keakraban (friendliness). Adapun hak dalam tinjauan aspek yang kedua,menekankan pola hubungan ketergantungan dan saling respons serta saling pengertian.Hubungan sehat antarpersonal,juga ditentukan oleh sejauh mana masing-masing pihak mampu menciptakan situasi pergulan yang akrab dan hangat.Hal demikian ini terbilang amat perlu karena pertimbangan beberapa hal:
1)      Secara psikologis orang hanya akan mau membuka diri kepada orang yang benar-benar ia kenal dan tahu latar belakangnya.
2)      Ketiadaan jarak antar hubungan memugkinkan tumbuhnya selera untuk menjalin keakraban dan kedekatan dalam pergaulan.
3)      Keakraban dan kedekatan,lahir dari sikap empatis dan simpatik dari seseorang kepada orang lain.
Keakraban dan kedekatan pergaulan juga dapat diwujudkan melalui hubungan yang baik antara da’I dengan mad’u.Dalam hal itu,da’I sebagai pihak yang lebih aktif,da’I harus mengerti bah wa mad’u memiliki hak untuk didekati dan dibimbing untuk kemudian dirubah menjadi lebih baik lagi.[17]
d.      Klasifikasi Mad’u
Setelah pemaparan bahwa setiap manusia tanpa terkecuali adalahmad’u,yaitu pihak yang diseru ke jalan Allahm, maka perbincangan mengenai klasifikasi mad’u menjadi tidak lepas dari pengklasifikasian manusia dalam keterkaitannya dengan da’wah.
1)      Menurut Abdul Karim Zaidan klasifikasi mad’u menurut siakpnya terhadap dakwah dibagi mnejadi empat yaitu :
a)       Al-mala’ (penguasa)
Al-mala’ adalah kaum eksekutif masyarakat yang memiliki pengaruh besar hal demikian karna kemampuan mereka untuk mengakomodasi masa dan pengaruhnya dalam membentuk opini-opini public.
b)      Jumhur An-nas (mayoritas masyarakat)
Menurut Abdul Karim Zaidan, jumhur an-nas adalah orang yang paling tanggap menerima seruan dan ajakan dakwah. Hal demikian, kiranya dapat ditinjau dari dua perspektif historis dan psikologis.
Di tinjau dari perspektif historis, mayoritas manusia yang merupakan kaum lemah secara faktual adalah mereka yang paling simpatik dan cepat menerima seruan dakwahpara rasul. Hal ini banyak tersurat dalam al-qur’an maupun sirah nabi. Adapun dari perspektif psikologis mayoritas manusia yang merupakan kaum yang lemah adalah mereka yang selalu melawan penindasan kaum penguasa. Dalam kondisi ini, mereka senantiasa mendambakan tampilnya sosok yang berani bersama-sama memperjuangkan nasib mereka. Dan para rasul dan dakwahnya membawa ajaran kebebasan.
c)      Al-munafiqun
Adalah oranag-orang yang menentang dakwah namun tidak terlihat.
d)     pelaku maksiat
Mereka yang secara batin masih memiliki pijakan yang kuat dalam agama, namun secara behavioral menunjukan indikasi yang sebaliknya.
2)      Pengelompokan mad’u berdasarkan antusiasnya kepada dakwah dibagi menjadi tiga kelompok :
a)      As-sabiquna bil akhirat (yang bersegera dalam menerima kebenaran)
Golongan mad’u yang cenderung antusias kepada kebaikan dan tanggap terhadap seru-seruan dakwah baik yang sunnah apalagi yang wajib.
b)       Muqthasid (kelompok pertengahan)
Mereka yang mengerjakan kewajiban-kewajiban agama dan meninggalkan yang diharamkan, namun pada waktu yang bersamaan mereka kerap kali melakukan hal-hal yang di makruhkan dan kurang tanggap terhadap kebaikan yang dianjurkan.
c)      Zalim linafsih (kelompok yang menzalimi diri sendiri)
Kelompok yang senang melampaui batasan-batasan agama, cenderung mengabaikan kewajiban dan kerap melakukan larangan-larangan dalam agama.
3)      Kategori mad’u menurut keyakinannya
Dakwah diakui sebagai ajakan universal, artinya ajakan dakwah tidak dibatasi hanya kepada kelompok tertentu dan tidak yang lainnya. Terkait dengan aneka ragam keyakinan manusia dimuka bumi ini, dakwah juga memiliki kepentingan untuk menarik orang ke jalan tuhan. Adapun kategori menurut keyakinannya dibagi menjadi dua macam, yakni muslim dan non-muslim.
4)       Pengelompokan mad’u berdasarkan kemepuannya menangkap dakwah.
Dalam kategori ini, mad’u dikelompokan secara hierarkis dimulai dari kelompok elit hingga level bawah, karena kemampuan seseorang untuk menangkap pesan dakwah terkait erat dengan kedalamannya memahami agama dan hakikatnya. Ada tiga kelompok dalam hal ini. Pertama, adalah mereka yang dalam menangkap pesan dakwah didekati dengan mengajukan bukti-bukti demonstrative yang tak terbantahkan.
Kedua, adalah kelompok mad’u menengah terkait tingkat pemahaman agamanya, dalam menerima pesan dakwah mereka belum mampu menyikap hakikat-hakikat terdalam agama, dan baru cukup didekati dengan dialog melalui adu argumentasi.
Ketiga, kelompok ahlul kitab, adalah kelompok terbanyak dalam masyarakat, karena tingkat pemahaman agamanya yang rendah. Kelompok mad’u ini tidak tertarik kepada pendekatan-pendekatan dialektis dan belum mampu memahami hakikat terdalam agama. Untuk itu, cara retorik melalui tutur kata dan nasihat yang baik dalam menyampaikan pesan dakwah dipandang sebagai jalan yang paling baik.
3.      Kejenuhan
Kejenuhan itu muncul dari dua faktor, yaitu faktor yang berasal dari luar diri peserta dan faktor yang muncul dari peserta itu sendiri.
Faktor-faktor Penyebab Kejenuhan dari luar (eksternal) beberapa di antaranya:
a.     suasana yang monoton
Suasana yang monoton merupakan salah satu sebab munculnya kejenuhan dalam halaqah. Ini merupakan hal yang wajar. Sebab manusia pada dasarnya menginginkan suasana yang berubah dan sesuatu yang baru (dinamis). Tidak terperangkap dalam satu cara atau metode. Ketika halaqah berjalan dengan cara atau suasana yang monoton, maka besar kemungkinan peserta/mad’u akan merasa jemu.
b.    Ketiadaan Keteladanan
Murabbi menjadi teladan bagi peserta/mad’u. Peserta menjadi teladan bagi peserta lainnya. Ketika Murabbi dan peserta tidak bisa memberikan keteladanan, maka halaqah berubah menjadi menjemukan. Contoh hilangnya keteladanan adalah ketika Murabbi mewajibkan peserta untuk hadir rutin, tapi ia sendiri jarang datang dengan berbagai alasan. Atau ketika ia meminta peserta datang tepat waktu, tapi ia justru sering terlambat. Atau hal lain ketika meminta peserta untuk bisa menghargai pendapat peserta lain, tapi ia sendiri tak bisa menghargai pendapat orang lain. Jika hal ini tak dapat dihindarkan, semakin potensial halaqah terjerumus pada suasana yang membosankan. Hal ini wajar, karena ketiadaan keteladanan membuat hilangnya kepercayaan dan nilai lebih suatu kelompok. Hal ini tentu berdampak pada suasana yang tidak nyaman dan membosankan.
c.    Kurangnya upaya untuk saling memotivasi/mengingatkan
Suasana yang menjemukan bisa juga disebabkan murabbi/naqib dan peserta tidak saling mengingatkan atau memotivasi satu sama lain. Mereka mungkin terjebak pada rutinitas halaqah yang di anggap bukan masalah. Jika pun di antara mereka ada yang mengingatkan tentang pentingnya mendinamiskan halaqah, tidak ditanggapi serius oleh yang lain. Atau bisa juga pengingatan itu dilakukan, tapi tidak dilakukan secara rutin, supaya untuk mendinamiskan halaqah hanya bersifat temporer dan tidak berkesinambungan.
d.    Konflik berkepanjangan
Kejenuhan dalam halaqah bisa juga disebabkan seringnya terjadi konflik di antara peserta. Konflik itu muncul karena berbagai sebab. Bisa karena perbedaan cara pandang, sifat/karakter atau karena perbedaan kebutuhan. Konflik yang berkepanjangan dalam halaqah biasanya bersifat laten, tidak muncul secara vulgar atau terang-terangan, sehingga jika murabbi atau peserta kurang jeli, maka mereka tidak mengetahui adanya konflik tersebut. Konflik yang tidak terselesaikan dalam halaqah dapat berdampak pada suasana yang menjemukan.
Adapun Kejenuhan dari Internal, di antara:
1)      Kurangnya Keikhlasan
Salah satu sebab internal dari munculnya perasaan jemu adalah kurangnya keikhlasan. Karena ikhlas merupakan motivasi yang tertinggi, sehingga jika seseorang telah ikhlas, kecil kemungkinan ia dihinggapi perasaan bosan. Bahkan walau suasana monoton, tapi jika ikhlas mengerjakannya maka rasa bosan tak akan mudah menghinggapi. Namun jika keikhlasan berkurang, seseorang akan mudah tertimpa penyakit jenuh.
2)       Maksiat
Sebab internal lain dari munculnya perasaan jenuh adalah sering seseorang melakukan kemaksiatan. Semakin banyak kemaksiatan yang dilakukan seseorang, semakin mudah ia tertimpa penyakit jenuh. Sebaliknya, semakin bersih seseorang dari kemaksiatan, semakin sulit ia tertimpa penyakit jenuh. Itulah sebabnya Nabi SAW tidak pernah jemu melakukan qiyamullail tiap malam. Hal ini juga berlaku pada halaqah. Jika peserta halaqah banyak melakukan kemaksiatan, maka kecenderungan untuk muncul rasa jemu akan lebih besar dibandingkan jika peserta menjaga dirinya dari kemaksiatan.
3)      Kurangnya Pemahaman
Kejemuan juga bisa muncul dari kurangnya pemahaman tentang pentingnya suatu pekerjaan. Orang yang cepat bosan melakukan suatu pekerjaan biasanya karena kurang paham manfaat dari pekerjaan tersebut.




[1] Al-Qur’an dan terjemahan
[2] Abdul Basit. Filsafat Dakwah. (Jakarta : Rajawali Pers. 2013), hlm. 93
[3] Ahmad Suyuti, Amtsilatu Tasrifiyah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997), hlm. 11
[4] Fathul Bahri An-Nabiry, Meniti Jalan Dakwah Bekal Perjuangan Para Da’i, (Jakarta : Amzah. 2008), hlm. 134
[5] Fathul Bahri An-Nabiry, Meniti Jalan Dakwah Bekal Perjuangan Para Da’i, (Jakarta : Amzah. 2008), hlm. 134
[6] Fathul Bahri An-Nabiry, Meniti Jalan Dakwah Bekal Perjuangan Para Da’i, (Jakarta : Amzah. 2008), hlm. 134-135
[7] Fathul Bahri An-Nabiry, Meniti Jalan Dakwah Bekal Perjuangan Para Da’i, (Jakarta : Amzah. 2008), hlm. 135
[8] Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta :Mitra Pustaka, 2000), hlm. 23
[9] Abdul Basit. Filsafat Dakwah. (Jakarta : Rajawali Pers. 2013), hlm. 109
[10] Fathul Bahri An-Nabiry, Meniti Jalan Dakwah Bekal Perjuangan Para Da’i, (Jakarta : Amzah. 2008), hlm. 17
[11] Ibid., hlm. 17
[12] Ibid., hlm. 18
[13] Fathul Bahri An-Nabiry, Meniti Jalan Dakwah Bekal Perjuangan Para Da’i, (Jakarta : Amzah. 2008), hlm. 19-22
[14] Manajemen Dakwah, M. Munir dan Wahyu Ialihi. Hal. 23
[15] Filsafat dakwah rekayasa mambangun agama dan peradaban islam, Dr. A. Ilyas Isma’il dan Prio Hotman. Hal. 155
[16] Islam Aktual, Jalaludin Rahmat. Hal. 228
[17] Ismail, Ilyas, Prio Hotman. Filsafat Dakwah Rekayasa Membangun Agama Dan Peradaban Islam. 2011. Kencana Prenada Media Group: Jakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Silabus Mata Kuliah Tafsir Ayat Tarbawi I

silabus mata kuliah l Qur'an Hadist

SILABUS MATA KULIAH METODE DAN STRATEGI PEMBELAJARAN